Selasa, 27 Oktober 2009

TETTY OOH TETTY

thy marlina: hahha
thy marlina: eh, nilai gw gmn ya
Mochamad Ilham: bagus kok bagus
thy marlina: hhahah
Mochamad Ilham: gw kmrn bantu meriksa
thy marlina: kalo lo yg ngomong, entah gimana gw kayak ga yakin.
thy marlina: wahahahah
thy marlina: bohong bgt
Mochamad Ilham: ehh beneran
Mochamad Ilham: sebenernya nilai lo tuh E tet
thy marlina: semuanya ?
Mochamad Ilham: tapi gw checklist semua
thy marlina: ga enak feeling gw
Mochamad Ilham: jadi dapet A
thy marlina: sialan lo
Mochamad Ilham: hahahahahahhaa
Mochamad Ilham: ngga tet
Mochamad Ilham: bagus kok
Mochamad Ilham: suer
thy marlina: gw HITT 78 saja dong?
BUZZ!!!
Mochamad Ilham: ya lumayan laah
Mochamad Ilham: daripada gw udh ada yg E
thy marlina: lumayan apa?????????????????????
thy marlina: gw jg ada yg E
thy marlina: nyettt
Mochamad Ilham: satu biji
thy marlina: gw yg E yg tahun lalu, yg nilainya cuma 400 aja
thy marlina: eh, 40
Mochamad Ilham: HAHAHAHAHAHAHA
Mochamad Ilham: edan doong 400 dapet E
Mochamad Ilham: 36 dapet HKJKDN kali ya
Mochamad Ilham: hahahahaha
thy marlina: HKJKDN?
thy marlina: salah ketik bitch..
thy marlina: hhahha


ini temen gue yang dapet nilai 400

Selasa, 13 Oktober 2009

CINTA BATIK???


FISIP UNPAR mendadak menjadi lautan coklat, bukan banjir lumpur bukan tertimbun tanah. Diantara kerumunan itu terlihat pamflet-pamflet bertuliskan “PAKE BATIK 021009”, sebuah “perintah tak langsung” untuk memakai batik yang ditujukan kepada warga kampus pada tanggal tersebut.Tanggal 02 Oktober 2009 ini UNESCO meresmikan batik sebagai warisan kebudayaan milik Indonesia dan pada tanggal tersebut dinyatakan sebagai hari batik nasional. Warga Indonesia pun merayakannya dengan memakai batik pada tanggal tersebut dan juga mereka tidak hanya merayakan itu, mereka juga beralasan dengan memakai batik maka rasa nasionalisme mereka menjadi timbul . Dalam hati saya bertanya, “Bagaimana dengan yang tidak punya batik? Apakah mereka dianggap tidak nasionalis?”
Pagi itu saya tengah berada di fakultas FISIP, sambil menekan-nekan tuts laptop mengetik sebuah naskah, saya memperhatikan keadaan sekitar saya yang pada saat itu hiruk pikuk, penuh canda tawa ditengah dinginnya pagi itu karena matahati yang masih malu-malu untuk keluar. Tidak seperti biasanya, mereka yang berada disekitar saya terlihat bangga akan pakaian yang mereka pakai, karena biasanya saat mereka memakai kaus sehari-hari, ekspresi mereka tidak sejumawa saat memakai batik. Sedikit-sedikit ada lirikan-lirikan aneh dari mereka terhadap teman mereka yang tidak memakai batik. Salah satunya terjadi pada saya yang saat itu hanya dibalut oleh sweater hitam andalan saya (akhir-akhir ini sih), tidak terlihat sedikitpun goresan-goresan canting batik disitu. Saya sengaja menutupi kaus batik yang saya pakai dari rumah, karena saya saat itu ingin mengetahui ekspresi mereka bila saya tidak melakukan hal yang sama seperti mereka. Kembali lagi pada obrolan. Saat itu ada saja yang bertanya pada saat saya berada di taman, “Pake batik ga?” “Enggak”, jawab saya lempeng. Lalu teman saya hanya terdiam, melihat saya dengan tatapan aneh dan melenggang pergi. Pertanyaan itu banyak yang mengulang-ulang, tiap teman yang saya temui di kampus selalu saja bertanya seperti itu. Akhirnya saya keluar dari taman, dan berjalan menuju teman “partner-in-good crime” saya yang sedang duduk tepat bersebrangan dengan tempat saya duduk tadi. Lalu saya bertanya pada teman saya itu kenapa dia juga tidak memakai batik, dan diapun menjawab, “Ah biarin males”. Penasaran dan sayapun bertanya lagi pendapat tentang hubungannya nasionalisme dan memakai batik. Ia pun menjawab, “Iya sih ada hubungannya dengan nasionalisme, kita kan lagi merayakan kegembiraan karena batik akhirnya diresmikan juga oleh UNESCO, tapi gak ngerti njis, kalo mau pake batik kenapa gak pas waktu di klaim sama Malaysia aja buat nunjukkin kepedulian kita terhadap budaya kita. Kalo gitu kesadaran kita dalam berbudaya dapat dikatakan kurang dan memakai batik terkesan maksa,” menurutnya. Terkesan maksa karena untuk memakai batikpun warga FISIP harus di suruh-suruh.
Teman yang satu lagi berpikir bahwa euphoria “batikistis” ini sebagai perwujudan “Nasionalisme Piala Asia” belaka dimana saat Tim Sepakbola Indonesia bermain melawan Tim Negara lain, ramai-ramai kita memakai kaus tim Indonesia, dan disaat pertandingan berakhir kaus itu masuk lemari lagi (atau malah dibuang). Term ini gemar dipakainya untuk para nasionalis musiman seperti IndonesiaUnite. “ Yang gue sayangin tuh kalo ada orang yang hari ini kecantol batik dan mengejek orang yang tak berbatik adalah orang yang doyan mengata-ngatai orang berbatik di hari biasa…” cerocosnya sambil garuk-garuk perut.

Berlanjut pada hal tersebut, batik adalah suatu warisan kebudayaan Indonesia, menjadi kebanggaan warga negara Indonesia dan warga FISIP salah satunya. Sayapun bertanya pada seorang teman saya yang menjadi panitia sebuah acara FISIP yang mewajibkan anggotanya untuk memakai batik pada hari itu. Alasannya ia memakai batik adalah karena untuk merayakan pengakuan batik dimata internasional. Mudah-mudahan saja bukan untuk berkompetisi dengan Malaysia yang notabene sebagai pengklaim batik indonesia sebagai budaya mereka. Mungkin bila terjadi demikian, bisa dikatakan bahwa niat kita sebagai warga Indonesia memakai batik adalah untuk mengejek Malaysia yang “kalah perang”.
Lalu pertanyaan yang selalu terbayang dalam pikiran saya adalah, “mungkinkah kita merasakan kemeriahan dan kebanggaan yang sama disaat kita memakai batik tanpa disuruh?”
Siang itu seorang kawan lewat sambil ia berkata:
“Yes gue pake batik, ihhh kok dia ga pake batik ya? Malah pake kemeja biru….”
Yah gitu lagi gitu lagi….
M. Ilham Pramadhan